Minggu, 14 Juli 2013

Paus Fransiskus Dapat Gelar "Man of the Year" Oleh Fanity Fair

Paus Fransiskus disebut sebagai Man of the Year oleh Vanity Fair, sebuah majalah edisi bahasa Italia sebagai bentuk pujian atas perannya selama seratus hari pertama sebagai pemimpin Gereja Katolik seluruh dunia.
Sampul depan majalah tersebut menampilkan Paus Fransiskus 76 tahun melambaikan tangan kepada kerumunan massa, dengan hanya memakai jubah putih dan topi putih kepausan  (zucchetto).
Majalah itu mulai dengan mengutip pesan Paus Fransiskus pada 28 Maret kepada para imam untuk menjadi “gembala dengan hidup di tengah bau domba,” dan dilanjutkan dengan komentar  dari lima selebriti dunia tentang Paus ini, termasuk Sir Elton John dan penyanyi opera Italia Andrea Bocelli.
Elton John dengan hangat mengatakan, “Paus Fransiskus adalah seorang rendah hati di era kesombongan,” dan selanjutnya ia mengatakan bahwa ia berharap pesan Paus tentang kasih sayang akan menyentuh kelompok marjinal yang “sangat membutuhkan cinta,” termasuk kaum gay dan lesbian.
Meskipun sikap Vatikan teguh terkait isu-isu seperti pernikahan gay, Elton John, yang juga terkenal dengan lagunya Candle in the Wind itu, menyatakan harapannya bahwa Paus Fransiskus bisa “menjangkau anak-anak, perempuan, laki-laki yang hidup dengan HIV dan AIDS – sering sendirian, dan tersembunyi dalam keheningan.”
“Seratus hari pertama posisinya sebagai Paus ia telah menempatkan dirinya dalam kategori pemimpin dunia yang menciptakan sejarah,” kata Vanity Fair.
“Tetapi, revolusi akan terus berlanjut.”
Paus Fransiskus berkomitmen pada keadilan sosial melalui cara hidup sederhana dan penuh kasih, memilih untuk mengambil minibus bukan mobil mewah kepausan, dan tinggal di sebuah hotel murah daripada apartemen mewah.

Selasa, 09 Juli 2013

Cina tembaki warga Tibet


Organisasi pegiat HAM mengatakan polisi Cina menembaki sekelompok warga Tibet yang berkumpul merayakan hari ulang tahun Dalai Lama di kota Daofu, Sichuan pada hari Sabtu (06/09).
Mereka mengatakan akibat aksi itu ada beberapa orang yang mengalami luka.

Beijing belum menyampaikan komentar terkait insiden tersebut.Laporan mengatakan polisi melepaskan tembakan dan melempari gas air mata ke arah kelompok orang yang terdiri dari para biksu dan warga Tibet yang merayakan ultah Dalai Lama dengan menyertakan dupa serta sejumlah persembahan di daerah yang mereka percaya sebagai gunung suci.

BBC yang mencoba mengkonfirmasi kejadian itu kepada pejabat di kota Daofu tidak tersambung.
Namun kepada Reuters dan AFP seorang pejabat lokal mengatakan tidak ada kejadian penembakan seperti yang dilaporkan oleh organisasi itu.
Wartawan memang kesulitan untuk mengkonfirmasi adanya insiden di daerah itu- media milik pemerintah memang menyampaikan berita dari kawasan itu namun tidak semuanya mereka sampaikan.
Sementara wartawan Asing tidak diijinkan memasuki kawasan tersebut dan informasi di daerah itu juga dikontrol dengan ketat.

Aksi meningkat

Pernyataan organisasi Kampanye Internasional untuk Tibet, ICT mengatakan banyak yang terlibat dalam perayaan di gunung itu adalah biksu dan biksuni.
"Banyak polisi dan tentara dikerahkan ke lokasi, seorang sumber mengatakan setidaknya ada tujuh truk tentara dan kendaraan polisi ada di tempat kejadian," bunyi pernyataan organisasi itu.
Para petugas keamanan dilaporkan berupaya menghalangi kerumunan orang di sana memberikan persembahan.
"Tanpa peringatan, menurut sejumlah sumber di kalangan warga Tibet, polisi menembakan senjatanya ke arah kerumunan orang yang tidak bersenjata dan membubarkan mereka dengan gas air mata."
Aksi warga Tibet menentang kekuasaan Beijing terus terjadi belakangan ini.
Laporan mengatakan dalam beberapa tahun belakangan ini setidaknya ada sekitar 110 warga Tibet melakukan aksi bakar diri menentang kekuasaan Beijing.
Kebanyakan aksi itu dilakukan di Provinsi Sichuan tempat bermukimnya banyak warga Tibet.

Kamis, 04 Juli 2013

Adli Mansour Akan Dilantik Sebagai Presiden Interim Mesir

demonstrasi_mesir.jpeg

Hakim Mahkamah Konstitusi Mesir, Adli Mansour, akan segera diambil sumpahnya untuk menjadi pejabat interim menggantikan fungsi kepemimpinan Presiden Mohammed Morsi.


Saat ini, Mansour menjabat sebagai kepala pengadilan di Mahkamah Konstitusi dan dijadwalkan akan diambil sumpahnya sekitar pukul 10:00 waktu setempat (08:00 GMT).

Kepala angkatan bersenjata Jenderal Abdul Fattah al-Sisi sebelumnya mengatakan bahwa Morsi -presiden pertama yang dipilih melalui pemilihan umum- telah "gagal memenuhi tuntutan rakyatnya."
Jenderal Sisi sebelumnya mengumumkan untuk membatalkan konstitusi dan melangsungkan pemilihan umum baru.
Klik Ia juga berpidato mengenai rencana aksi berikutnya dan mengatakan bahwa Mansour akan ditugasi untuk "memerintah urusan dalam negeri selama periode transisi untuk memilih presiden baru."

Ditahan

Sementara itu juru bicara Ikhwanul Muslimin yang merupakan partai pendukung Morsi, Gehad el-Haddad, mengatakan kepada BBC jika presiden yang baru saja digulingkan itu sekarang menjadi tahanan rumah. Sementara itu "seluruh tim kepresidenan" juga ditahan.
Ayah Haddad yang juga adalah ajudan Morsi, Essam el-Haddad, dan pemimpin politik Ikhwanul Muslimin Saad al-Katatni termasuk diantara yang ditahan itu.
Sedangkan koran pemerintah al-Ahram melaporkan perintah penangkapan telah dikeluarkan untuk 300 pemimpin dan anggota Ikhwanul Muslimin.
Penggulingan kekuasaan presiden Mesir ini terjadi setelah terjadi protes selama empat hari dan ultimatum yang dikeluarkan oleh militer untuk mengakhiri ini pada Rabu (03/07) sore.
Salah seorang demonstran, Omar Sherif, mengatakan kepada kantor berita AFP, "Ini adalah momen bersejarah. Kita berhasil menyingkirkan Morsi dan Ikhwanul Muslimin."
Wartawan BBC Kevin Connolly di Kairo mengatakan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
Hal yang berbahaya adalah, katanya, kedua belah pihak akan mencoba untuk menyelesaikan perbedaan dengan membawa pendukung ke jalan-jalan.
Pihak militer memang telah mengatakan tidak akan membiarkan itu terjadi, tapi, kata wartawan kami, itu tidak akan mudah.

Rabu, 03 Juli 2013

RUU Pilkada Belum Capai Titik Temu

Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih belum mencapai titik temu. Padahal Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada sudah hampir menyelesaikan pembahasan. Karena itulah, Panja dan pemerintah akan melakukan lobi untuk mencapai kesepakatan.
“RUU Pilkada sekarang sedang mencari kesepakatan. Sebelum reses (Sabtu, 13 Juli) ada lobi antar Panja, Pimpinan Fraksi dan pemerintah,” kata Ketua Panja RUU Pilkada sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR, Abdul Hakam Naja kepada SP di Jakarta, Kamis (4/7).
Salah satu substansi yang masih menjadi perdebatan ialah pilkada langsung atau tak langsung.
“Masih ada ketidaksepahaman misalnya terkait pilkada langsung atau tak langsung. Karena itu perlu forum lobi, diharapkan dengan pertemuan nanti bisa ada titik temu,” ujar Hakam yang juga politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bidang Politik Hukum dan Hubungan Antar Lembaga, Reydonyzar Moenek mengatakan, data dari Kemteria Dalam Negeri (Kemdagro) menyebutkan bahwa sekitar 33 persen pilkada berpotensi memecah kongsi antar kepala daerah dan wakilnya. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk Pilkada langsung bervariasi.
“Perlu ada formulasi seperti apa bentuk pemilihan Bupati/Wali Kota dan juga Gubernur sehingga tidak menelan biaya yang sangat besar,” kata Moenek.
Seperti diketahui, sejumlah fraksi dalam Panja belum menyepakati tujuh substansi pokok persoalan. Adapun ketujuh substansi tersebut antara lain mekanisme pilkada, pemilihan kandidat dalam satu paket, politik dinasti, penyelesaian sengketa pilkada, pelaksanaan pilkada serentak, beban biaya penyelenggaraan pilkada dan pembatasan dana kampanye pilkada.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi II, Arif Wibowo mengatakan, mayoritas fraksi setuju pilkada tetap diselenggarakan secara langsung.
“RUU Pilkada masih proses lobi. Ada perbedaan persepsi Panja dengan pemerintah dengna pemerintah soal pilkada langsung atau tidak. Mayoritas masih setuju pilkada langsung,” kata Arif.
Menurutnya, pilkada langsung masih diperlukan. Sebab, partai politik (parpol) masih belum kuat, kaderisasi tidak berjalan efektif.
“Mekanisme pilkada langsung masih perlu. Meskipun dipilih langsung dan perwakilan itu legitimasinya sama,” ucap politikus PDI Perjuangan ini.
Penulis: C-6/TK
Sumber:Suara Pembaruan

Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah!

Walaupun dihujani protes keras, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation di New York, Amerika Serikat, 30 Mei lalu. Banyak pihak menyebutkan, Presiden tidak pantas menerima penghargaan itu karena Indonesia masih bermasalah dalam kerukunan beragama.

Namun, Presiden punya jawaban. ”Meskipun masih ada masalah dalam negeri kita, masih ada kejadian yang belum mencerminkan kerukunan hidup antarumat beragama, itu saya akui. Oleh karena itu, mudah-mudahan bagi saya sendiri, bagi bangsa Indonesia, hal baik yang dilihat dunia itu kita terima kalau itu diakui. Justru kita harus berbuat lebih keras, lebih serius, dan efektif lagi untuk perbaiki lagi.”

Pernyataan Presiden itu tentu masuk akal, tetapi pihak-pihak yang berseberangan juga tak kalah rasionalnya. Pada masa transisi politik, konflik sosial begitu gampangnya memicu kekerasan kolektif. Ketika sistem politik otoriter-sentralistik bermetamorfosis ke sistem demokratis-desentralistik, sistem ekonomi kapitalisme pertemanan ke sistem ekonomi pasar, dan sistem sosial yang makin terpolarisasi, letupan konflik menjadi lorong kelam Indonesia.

Di panggung politik, rakyat sangat menentukan, seperti dalam pemilu atau pilkada. Namun, kemajuan penting dalam berdemokrasi itu justru dibebani ekses negatif, yaitu maraknya konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat, kekerasan dalam pilkada sejak 2005 menewaskan sedikitnya 59 orang dan melukai 230 orang. Ada 279 rumah, 30 kantor pemerintah daerah, 11 kantor partai politik, 10 kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan berbagai jenis bangunan lain dirusak atau dibakar massa.

Sampai hari ini konflik di Papua masih mengalami eskalasi yang naik-turun. Namun, konflik sosial yang paling parah adalah konflik yang terjerumus ke dalam konflik berlatar agama atau etnik. Pengalaman paling mengerikan adalah konflik di Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan konflik etnik di sejumlah daerah di Kalimantan. Bahkan, di Poso, hingga kini kekerasan masih menjadi momok yang memicu instabilitas keamanan.

Konflik menjadi ironi dalam masyarakat yang heterogen, baik antaragama seperti dalam kasus jemaat GKI Yasmin di Bogor, maupun intra-agama seperti kasus jemaah Ahmadiyah dan penganut Syiah. Kasus-kasus tersebut belum terselesaikan, bahkan dampaknya bukan saja traumatik secara psikologis, tetapi juga secara sosial mereka terusir dari kampung halaman.

Setahun ini, sebagaimana juga selama 15 tahun pascareformasi, kita menjumpai bangsa ini penuh amarah. Kebencian dan ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu, serta reaksi keras terhadap berbagai perbedaan seakan mengalir dalam aliran darah di tubuh kita. Hanya gara-gara persoalan sepele, kemarahan bisa menjadi kekerasan masif yang destruktif. Bahkan, seorang Komaruddin Hidayat—yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta—pun ragu bahwa kita bangsa penuh sopan-santun.

Kekerasan seolah-olah menjadi saluran tunggal untuk penyelesaian suatu masalah. Dan, sentimen primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), begitu cepatnya tersulut.

Memang, SARA menjadi sumber pemicu konflik yang paling ”anggun”. Penggunaan simbol-simbol agama merupakan konflik yang dampaknya paling rawan, masif, dan destruktif. Sebab, agama memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan pemeluknya, baik secara personal maupun sosial. Tidak mengherankan, dalam konflik agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya adalah tujuan mulia.

Meskipun demikian, konflik berlatar agama sesungguhnya tidak melulu atas dasar agama atau motif sakral, tetapi berkelindan atau justru malah diinisiasi oleh motif-motif sekuler, terutama motif politik atau perebutan kekuasaan (power) ataupun motif ekonomi atau sumber daya alam (resources). Namun, agama sering kali menjadi instrumen pembenaran dalam membingkai konflik. Dalam pandangan Peter L Berger, agama merupakan salah satu alat legitimasi yang paling efektif.

Kaitan agama dan politik, menurut Haryatmoko (2010), menyentuh tiga mekanisme pokok, yaitu fungsi ideologis, faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Sebagai fungsi ideologis, agama menjadi perekat masyarakat karena memberikan kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sebagai fungsi identitas, agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan kelompok sosial tertentu yang dapat memberikan stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos. Sebagai fungsi legitimasi etis hubungan sosial, agama menjadi pendukung suatu tatanan sosial, yang bisa memunculkan fanatisme agama.

Tak mengherankan dalam ruang besar republik ini, kemarahan begitu terlihat jelas. Watak kekerasan menjadi kultur negatif bangsa ini. Intoleransi terlalu sering terdengar di telinga. Kekerasan punya banyak dimensi, antara lain pembuktian jati diri, loyalitas, kebanggaan, ekspresi kelas sosial, dan lain-lain. Ketika kekerasan telah terinstitusionalisasi, kekerasan menjadi bagian dari sistem.

Konflik yang tak teratasi, politik yang selalu gaduh, dan hukum yang tebang pilih, menggambarkan situasi anomi, sebagaimana dilukiskan Emile Durkheim. Situasi tanpa keteraturan, kegamangan, instabilitas itu seolah-olah berbanding terbalik dengan kondisi ”normal” Orde Baru. Tak mengherankan, banyak yang mencibir bahwa lebih enak pada zaman Soeharto, yang dinilai stabil. Namun, sebetulnya bukanlah kerinduan pada cara-cara Soeharto, tetapi lebih karena kita merasa kecewa dan lelah dengan situasi saat ini.

Maka, penghargaan bergengsi yang diterima Presiden SBY itu seharusnya bisa benar-benar dijadikan modal untuk bekerja lebih keras lagi, agar terbangun kembali relasi sosial yang melahirkan harmoni, sekaligus membenamkan amarah bangsa ini. Kita butuh pemimpin di barisan terdepan agar bisa melewati lorong gelap ini.
Editor : Caroline Damanik

Wiranto-Hary Tanoe Berbeda Dengan Jokowi Ahok




Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto menolak jika pengusungan dirinya sebagai bakal calon presiden dan Hary Tanoesoedibjo sebagai bakal calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mencontoh kesuksesan Joko Widodo alias Jokowi dan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Wiranto mengatakan, kebetulan dirinya sama seperti Jokowi berasal dari Solo, Jawa Tengah. Kebetulan juga, Hary Tanoe berasal dari etnis Tionghoa sama seperti Ahok.
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Calon presiden dan wakil presiden yang diusung Partai Hanura Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo (berbaju putih tengah) menyapa pendukungnya saat acara deklarasi capres-cawapres dari Partai Hanura di Jakarta, Selasa (2/7/2013). Sebelum diusung sebagai cawapres Partai Hanura, Hary Tanoesoedibjo sempat bergabung dengan Partai NasDem yang dipimpin Surya Paloh.
"Kalau kebetulan sama komposisinya sama Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, ya enggak apa-apa. Kebetulan saja," kata Wiranto seusai deklarasi bakal capres-cawapres Partai Hanura di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa (2/7/2013).
Wiranto menambahkan, pihaknya mengabaikan perbedaan. Ia juga mengklaim akan menyinkronkan berbagai latar belakang untuk menjawab keinginan masyarakat. Jika publik butuh pemimpin senior dan muda, pasangan tersebut jawabannya.
Jika publik butuh pemimpin yang tegas, sebagai mantan Panglima TNI, Wiranto memastikan dirinya tegas. Begitu pula jika butuh orang Jawa seperti terlihat dari berbagai survei.
"Perbedaan etnis kami persatukan. Kami berharap mudah-mudahan kami jadi model pengintegrasian perbedaan, agama, etnis, umur, generasi, profesi. Artinya, kalau sudah begini kami berdua tidak akan ragu-ragu mengajak yang lain untuk bersatu," papar Wiranto.
Seperti diketahui, Wiranto sudah dua kali maju dalam pilpres. Pada Pilpres 2004, Wiranto menjadi capres berpasangan dengan cawapres Salahudin Wahid. Sementara pada Pilpres 2009, Wiranto maju sebagai cawapres mendampingi capres Jusuf Kalla alias JK. Dalam kedua pilpres itu, Wiranto gagal.
Adapun Hary Tanoe baru bertama kali akan maju dalam pilpres. Dia baru bergabung dengan Hanura setelah pindah dari Partai Nasdem. Di Hanura, bos Grup MNC itu menjabat Ketua Dewan Pertimbangan dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu.
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary