Selasa, 30 September 2014

Ata Lewoloba (1928)

Nick Doren - Lewoloba

Pada Tahun 1928, seorang etnolog asal Jerman, Ernst Vatter pernah melakukan kajian etnologi terhadap masyarakat Lamaholot Baipito. Beliau merasa sangat tertarik pada adat dan budaya yang hidup pada masyarakat Baipito pada saat itu. Kajian tersebut antara lain mencakup kehidupan sosial, agama, dan adat budaya setempat. 

Dalam masa penelitiannya, Ernst Vatter menetap selama kurang lebih  satu bulan di Desa Lewoloba. Beliau mendalami ritual adat masyarakat Lewoloba, konstruksi bangunan korke, dan musik-musik lokal. Hasil dari penelitiannya ini turut memperkaya buku ATA KIWAN yang dihasilkannya. Buku ini menjadi best seller di Eropa secara umum, dan Jerman secara khusus. Buku ini di kemudian hari mendorong beberapa etnolog lain untuk melakukan penelitian di lingkungan adat budaya Lamaholot.

Senin, 29 September 2014

DOB Adonara Tinggal Mimpi?

Nick Doren - Lewoloba

Gegap gempita dan sorak sorai masyarakat Tadon Adonara begitu membahana ketika cita-cita menjadikan Adonara sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) kian mendekati kenyataan. Semuanya bermula dengan wacana penetapan 65 DOB pada Bulan Juli lalu. Ketika itu pemerintah mengusulkan 65 DOB kepada DPR RI untuk ditetapkan menjadi Propinsi / Kabupaten / Kota yang baru pada Sidang Paripurna DPR RI beberapa hari silam. Dari 65 DOB, Pemerintah lantas menyempitkan jumlahnya menjadi hanya 21 DOB. 

Padatnya jadwal Sidang Paripurna DPR RI turut berpengaruh pada jadwal penetapan DOB. Semula, penetapan DOB ditetapkan pada tanggal 24September 2014, lalu bergeser ke tanggal 25 September, dan terakhir bergeser ke tanggal 29 September. Keyakinan akan kepastian jadwal penetapan tersebut lantas mendorong pemerintah Kabupaten Flores Timur untuk mengutus 30 tokoh masyarakat ke Jakarta pada tanggal 19 September silam. Biaya transportasi dan akomodasi ke-30 TOMAS tersebut diambil dari kas daerah. Tidak berhenti sampai di situ, pada hari Senin 22 September 2014, 30 anggota DPRD Flotim, para camat se-Kabupaten Flotim, bagian pemerintahan Kab. Flotim dan sejumlah awak media diutus untuk menghadiri Sidang Paripurna DPR RI untuk mendengarkan hasil akhir keputusan Sidang yang terhormat tersebut. Dasyatnya, hingga hari ini (tgl. 29 September 2014), Adonara tak kunjung ditetapkan sebagai Kabupaten.

Harus diakui bahwa yang berwenang untuk menetapkan RUU DOB menjadi UU adalah DPR RI. Kendati demikian, media-media lokal telah banyak meyakinkan masyarakat bahwa Adonara akan benar-benar menjadi Kabupaten yang terpisah dari Flores Timur. Media lokal, termasuk juga para netizen, telah terlanjur mengambil peran yang besar dalam sebuah "kebohongan publik" terhadap masyarakat di kampung-kampung Adonara, bahwa Adonara sungguh-sungguh akan menjadi Kabupaten. Masyarakat yang tidak memiliki akses informasi yang baik, lantas mempersiapkan sejumlah acara penyambutan Kabupaten Baru. Di Waiwerang, beberapa spanduk berisi "selamat Kabupaten Adonara" telah terpasang di sejumlah sudut kota. Pemilik POM bensin Waiwerang menggratiskan bahan bakar kendaraan bermotor selama satu hari untuk pawai keliling Kec. Adonara Timur. Tidak hanya itu, untuk perayaan ini, pada tanggal 25 September 2014, masing-,masing desa di Adonara diharapkan menyumbangkan dua ekor ayam untuk acara syukuran. 

Gegap gempita ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Adonara di Pulau Adonara saja, tetapi juga masyarakat Adonara di beberapa tempat lain, termasuk di Jakarta. Masyarakat Adonara Jakarta telah mempersiapkan acara syukuran di Lantai 5 Univ. Atmajaya Jakarta pada hari ini. Sejumlah SMS beredar agar warga Adonara dapat berpartisipasi dalam acara dimaksud.

Namun semuanya kini tampak diam membisu ketika sampai dengan saat ini Adonara belum juga ditetapkan menjadi Kabupaten. Sejenak kita bertanya, di manakah Anggota DPR RI asal NTT yang "katanya" turut berjuang secara maksimal untuk meng-kabupaten-kan Adonara? Sejumlah pihak bahkan telah menyebutkan bahwa Anggota DPR RI asal NTT tertentu telah mendapatkan bocoran bahwa Adonara telah pasti menjadi Kabupaten. Tinggal tunggu tanggal penetapannya. Dan rasa-rasanya masa "tunggu" itu harus diperpanjang entah sampai kapan. Jika bukan sekarang, dapat dipastikan bahwa cita-cita Adonara menjadi Kabupaten akan menghadapi banyak tantangan, atau bahkan hanya tinggal mimpi yang tak pasti..

Senin, 15 September 2014

Kame Ata Lewoloba: Sebuah Protes Atas Dominasi Sebutan Oka

Nick Doren Lewoloba
Penari Adat Soka Roja Lewoloba

Persoalan identitas menjadi ambigu ketika terdapat dua nama dipakai untuk menyebut identitas sesuatu/seseorang. Nama itu mungkin lazim didengar karena pertimbangan "kebiasaan" dan "kenyamanan", misalnya "Saya biasa/nyaman memanggilnya Dom, padahal nama orang itu Domi." Ketika "Dom" menjadi lebih populer ketimbang "Domi", maka akan muncul sebuah anggapan bahwa yang benar adalah Dom, bukan Domi. Ilustrasi singkat ini sedikit banyak menggambarkan krisis identitas yang dialami masyarakat Lewoloba atas dominasi kata Oka yang telah populer penggunaannya   di tengah kalangan masyarakat Kota Larantuka. Sialnya, orang Lewoloba pun terkondisi untuk memperkenalkan dirinya sebagai Orang Oka, dan bukan Orang Lewoloba.

Hegemoni nama Oka di satu sisi, dan diskriminasi nama Lewoloba di sisi lain, kian memprihatinkan. Sejumlah tempat publik lebih memilih nama lain ketimbang Lewoloba. Sebut saja, SMP Negeri 02 "Larantuka", SMK Lamaholot Mandiri "Larantuka", Puskesmas "Oka", Pasar "Oka", semuanya berada di Desa Lewoloba tetapi tidak diberi label Lewoloba. Lantas, apa istimewanya nama Lewoloba ketimbang nama-nama lain itu?

Lewoloba adalah nama identitas yang kaya akan muatan sosial budaya. Nama Lewoloba diambil dari nama kata bahasa Lamaholot, yaitu Lewo (Kampung), dan Loba (Sirih Pinang). Penamaan Lewoloba bermula dari pendirian Kampung Lewoloba setelah berpindah dari tempat yang bernama Suban Tupi Wato, di kaki Gunung Ile Mandiri.  Ketika dibuat acara adat pendirian Lewo, banyak orang menjadi mabuk setelah makan Loba. Dengan demikian, nama Lewo itu menjadi Lewoloba. "Opah" atau  istilah khas Lewoloba  adalah "Loba Lama Dike, Tanah Weki Lama Doro". Orang Lewoloba adalah keturunan langsung dari Putera sulung Lia Nurat (penghuni awal Ile Mandiri), bernama Belawa Burak. Belawa Burak  beristerikan Nini Daja. Belawa Burak sendiri meninggal dunia di Waiburak, Adonara, dalam sebuah pertempuran antara Paji dan Demon. Ketika itu, Belawa Burak meninggalkan isterinya dalam keadaan hamil tua.

Setelah sekian lama mendiami kampung Lewoloba, orang Lewoloba berpindah ke lokasi barunya di sekitar Teluk Oka setelah sebagian besar wilayah kampung Lewoloba luluh lantak akibat Banjir Besar pada Tahun 1979. Sebagian wilayah ini adalah bekas kebun orang Lewoloba. Menurut penuturan tetua Lewoloba, tanah pesisir pantai Oka semulanya adalah milik Suku Fernandez Aikoli. Tetapi oleh karena ada anak sukunya yang menikahi gadis Lewoloba dari Suku Hurint Amaweruin, maka kekuasaan atas tanah di pesisir pantai dilepas sebagai ganti atas mas kawin yang mahal.

Sebenarnya, sebelum banjir 1979, telah terdapat sekitar 10 kepala keluarga yang mendiami lokasi Desa Lewoloba sekarang, yang ketika itu dinamakan sebagai "Pemukiman". Mereka menjadi korban terparah banjir 1979.

Setelah banjir, sebagian orang Lewoloba berpindah ke pemukiman baru yang bernama Bokang (sekarang bernama Desa Bokang Wolomatan). Tetua Lewoloba membuat "Kepasa" (cara penentuan lokasi secara tradisional), dan menetapkan lokasi Desa Lewoloba yang sekarang sebagai lokasi tempat tinggal barunya. Secara definitif, lokasi baru ini ditempati pada tahun 1982. Ketika itu, sejumlah tetua Lewoloba, antara lain Bapak Dominikus Duran Kelen dan Bapak Homo Doren mempertahankan penggunaan nama Lewoloba di lokasi baru, dan memilih untuk bertahan di pemukiman Lewoloba ketimbang harus dipindahkan ke pemukiman Bokang.

Nama Oka memang sudah lama digunakan. Tetapi nama itu tidak lebih dari nama sebuah teluk yang tidak merepresentasikan identitas  sebuah budaya. Sebagian besar wilayah Oka saat ini adalah wilayah Desa Lewoloba. Sebagian kecil di sebelah Timur adalah wilayah Desa Lamawalang, dan sebagian kecil di sebelah Barat adalah wilayah Desa Wailolong. Sebutan Orang Oka kerapkali digunakan oleh masyarakat Lewoloba yang berdiam di pesisir Pantai Teluk Oka. Tetapi itu hanya dipergunakan dalam ruang lingkup Lewoloba saja, karena ketika berhubungan ke luar desa, identitas Lewoloba dipergunakan.

Entah mengapa, nama Oka menjadi sangat populer di kalangan orang yang tinggal di Kota Larantuka. Padahal nama Oka semata-mata hanya nama sebuah teluk. Orang yang tinggal di lokasi ini adalah orang Lewoloba. Sungguh tak mengenakkan bagi orang Lewoloba jika disebut sebagai orang Oka, karena mereduksi kekayaan sosio kultural Lewoloba ke dalam nama sebuah teluk. Hal inilah yang mendorong penulis untuk memperbanyak entry "Lewoloba" di internet. 

Jumat, 12 September 2014

Pesona Pulau Solor Yang Memukau

Nick Doren - Lewoloba
Pelabuhan Podor, Solor Selatan

Nun jauh di ujung  Pulau Flores bagian timur, terdapat sejumlah Pulau nan indah, yang menyimpan banyak pesona alam yang masih "Perawan". Pulau-pulau tersebut adalah P. Adonara, P. Solor, dan P. Lembata. Dan kisah petualangan berikut ini adalah sebuah kisah singkat yang tak lain merupakan ungkapan syukur penulis terhadap segala keindahan alam dan keramahan masyarakat di P. Solor.

Saat ini tak banyak orang menulis atau mengisahkan sesuatu tentang Solor. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan manakala begitu banyak wisatawan dalam dan luar negeri ingin berkunjung ke P. Solor, namun hanya ada sedikit informasi yang tersedia. Catatan keci ini pun tentu saja tidak bisa mencakup keseluruhan pesona indah P. Solor.

Nick Doren - Lewoloba
Jalan Menuju Kelelu
Semuanya bermula ketika keluarga dari Solor mengajak saya untuk mengahadiri sebuah acara Sambut Baru / Komuni Pertama di Desa Lamawalang alias Lamawohong pada tanggal 5 Sept. yang lalu. Tepat tanggal 4, saya dan beberapa anggota keluarga lain bertolak dari Pelabuhan Larantuka menuju Pelabuhan Podor di Solor Selatan. Ada banyak Kapal Motor penyeberangan yang hilir mudik di sekitar selat Solor. Dan pilihan kami jatuh pada KMP Barcelona untuk menghantarkan kami mengarungi lautan menuju P. Solor. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam. Dan tibalah kami di Pelabuhan Podor. Betapa kagetnya saya ketika melihat keadaan pelabuhan tersebut. Pelabuhan tersebut sangat kecil. Pelabuhan tersebut hanya dapat menampung tiga kapal motor penyeberangan. Dari Podor kami bergegas menuju Lamawohong di Solor Barat.

Nick Doren - Lewoloba
Jalan Menuju Lamawohong

Dasyat!! Sungguh dasyat,  perjalanan menuju Lamawohong sangat melelahkan. Mayoritas jalannya telah rusak dan berdebu sehingga sebaiknya kita mengenakan masker. Dari  Podor, kami menelusuri jalan di pantai selatan menuju ke Solor Barat. Pantai berpasir putih Kelike dan Lemanu sungguh memanjakan mata. Hamparan karang nan indah memehuni pantai di sepanjang perjalanan kami.

Nick Doren - Lewoloba
Suasana tenang di Pantai Lamawohong

Di persimpangan Kelelu - Ritaebang, perjalanan kami tampak mulus, karena jalanannya sudah beraspal dan jarang ditemukan jalan berlobang yang terdapat di sebagian besar daerah lain di Pulau Solor. Tiba di Kelelu, terdapat sebuah Pusat Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang memasok listrik untuk beberapa desa di sekitarnya. Menurut informasi yang disampaikan masyarakat, PLTS ini adalah hasil perjuangan Bpk. Pius Lusrilanang, salah satu anggota DPR RI yang membawahi bidang kelistrikan. Tiba di persimpangan Kelelu-Lamawohong, jalan kembali berdebu. Tetapi kondisi ini telah jauh lebih baik dari tahun lalu ketika saya mengunjungi keluarga di Lamawohong. Telah ada pengerasan jalan, dan pembukaan jalan baru dari Lamawohong menuju ke Lewo Tanah Ole sejauh 8 km.

Nick Doren - Lewoloba
Pantai Lamawohong

Dan tibalah kami di desa tujuan, Desa Lamawalang atau akrab disapa dengan Lamawohong. Baru duduk kurang dari 15 menit di rumah Bpk. Martinus Gelega Werang, kami telah disuguhkan satu teko tuak putih untuk menghangatkan badan dan tambo ayam kampung. Kami bersenda gurau menceritakan perjalanan jauh dan melelahkan. Tetapi keramahtamahan warga desa seakan menepis kelelahan tersebut. Untuk diketahui, hampir setiap rumah di Desa Lamawalang, Lamawohong memiliki rumah produksi arak lokal. Hal ini membuat Lamawohong mendapatkan julukan sebagai "dealer tuak / arak". Mayoritas masyarakat di sini bekerja sebagai petani dan nelayan.

Nick Doren - Lewoloba
PLTS Kelelu

Ketika tiba giliran melihat keindahan Pantai Lamawohong, kami merasa takjub akan keindahan pantainya. Konon, lima tahun yang lalu pantai ini jauh lebih indah dari keadannnya saat ini. Dari Pantai Lamawohong, kita dapat melihat lautan lepas ke arah Laut Sawu. Lautnya yang tenang menjadikannya sebagai daerah dengan banyak jenis ikan yang hidup di dalam lautnya. Sayang sekali, sejumlah nelayan dari Lamakera dan Menanga masih melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Tentu saja hal ini dapat menghancurkan terumbu karang, yang pada gilirannya akan turut menghancurkan juga biota laut yang ada.

Nick Doren - Lewoloba
PLTS Kelelu

Setelah melewatkan dua hari di Lamawohong, kami pun bergerak pulang ke Larantuka. Kami hendak menempuh jalur perjalanan yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu melalui jalan trans Ritaebang - Pamakayo. Jalanannya jauh lebih baik, dengan sedikit jalan berlobang dan kurang berdebu. Durasi perjalanan pun singkat, hanya ditempuh dalam waktu 30 menit. Setibanya di Pamakayo, kami langsung bergegas menuju ke pelabuhannya. Tak lupa sebelum naik kapal, kami berfoto ria dengan berlatarbelakang teluk Pamakayo yang indah.

Nick Doren - Lewoloba
Pelabuhan Pamakayo

Jika Anda tertarik mengunjungi Solor, datang, lihat, dan nikmatilah keindahannya.

Nick Doren - Lewoloba
Teluk Pamakayo