Belum usai kisah Ali Sumali Nugroho, seorang kurator yang dilaporkan ke polisi, kini kasus kriminalisasi profesi kurator kembali terjadi. Jumat malam (4/4), Kepolisian Jawa Timur menangkap kurator asal Jakarta, Jandri Onasis Siadari.
Jika Ali Sumali dilaporkan oleh salah satu pemegang saham minoritas Kymco, PT Metropolitan Tirtaperdana (MTP), Jandri justru dilaporkan oleh debitornya sendiri, PT Tbk Surabaya Agung Industri & Pulp (SAIP). Laporan ini dinilai aneh oleh kubu Jandri karnea dia dianggap telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur hukum kepailitan.
“Patut diduga dan sangat disayangkan upaya kriminalisasi terhadap kurator yang sedang melaksanakan tugasnya justru didasarkan atas laporan debitur sendiri,” tulis kuasa hukum Jandri, Sahroni dalam rilis media yang diterima hukumonline, Sabtu (5/4).
Dasar laporan pidana SAIP terhadap eks kuratornya ini adalah dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP. Pemalsuan dokumen dan keterangan palsu dalam Akta Otentik yang dimaksud debitor adalah berupa surat Tim Pengurus kepada Hakim Pengawas No. 50.01/PKPU-SAIP/JP-JOS/IV/13 tertanggal 15 April 2013 perihal “Laporan Hasil Pemungutan Suara (Voting) Terhadap Usulan Perpanjangan PKPU dan Usulan Rencana Perdamaian SAIP.
Sahroni menegaskan bahwa tidak ada satu hal pun yang dipalsukan karena laporan disusun berdasarkan fakta-fakta yang ada pada saat verifikasi utang di pengadilan dan di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lagi, saat pelaksanaan rapat-rapat kreditur, rapat verifikasi, dan pemungutan suara (voting) selalu dipimpin oleh hakim pengawas. Bahkan, daftar kreditur pun ikut ditandatangani hakim pengawas.
“Kalau daftar ini diangap palsu, tentunya hakim pengawas juga ikut dijadikan tersangka,” lanjut Sahroni.
Pelaporan para eks kurator oleh debitornya sendiri ini dinilai tidak rasional. Alasan laporan pada dasarnya karena eks kurator menolak menerima tagihan-tagihan yang diajukan oleh para kreditor SAIP sejumlah Rp4,2 triliun dari 7 kreditor, yaitu ZT Holding Pte Ltd, PT Istana Belanja, PT Pardika Anarawata, PT Surya Indoalgas, PT. Andover E- Pulp Paper Indonesia, Asia Capital Management Ltd, dan Orientalsky Corporation Pte. Ltd.
Tindakan ini cukup aneh di mata Sahroni. Sebab, Jandri menolak tagihan karena para kreditor sama sekali tidak dapat menunjukkan dokumen dan bukti tagihan dan eks kurator ini telah menjalankan prosedur PKPU dan Kepailitan sesuai dengan undang-undang. Keanehan lain adalah jika tagihan kreditor ditolak, seharusnya debitor merasa diuntungkan karena tagihannya menjadi berkurang. Justru bukan sebaliknya menjadi pelapor atas pengurangan tagihan ini.
Lebih lanjut, Sahroni menyatakan seandainya ada pihak yang tidak terima dengan penolakan tagihan tersebut, pihak yang paling tepat untuk membuat laporan pidana adalah para kreditor yang dirugikan itu sendiri. Namun, para kreditor tersebut sama sekali tidak melapor.
“Menjadi tanda tanya besar disini, apa kepentingan debitur untuk ngotot mendesak pengurus atau kurator agar mencatatkan jumlah utang yang sedemikian besar,” cecar Sahroni lagi.
Hebohkan Dunia Kurator
Penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap Jandri Siadari ini rupanya cukup menghebohkan dunia kurator. Hingga Jamaslin James Purba, Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) angkat bicara.
“Kayak teroris saja,” tutur James ketika dihubungi hukumonline, Minggu (6/4).
Kemarahan James atas penangkapan ini bukan tanpa alasan. James melihat kasus ini sangat membahayakan profesi kurator. Pasalnya, kurator dapat dipidana sekalipun tidak ada unsur tindak pidana di dalamnya. “Ini sangat membahayakan profesi kurator,” ujarnya.
Orang nomor satu di AKPI ini menilai memang tidak ada tindak pidana yang dilakukan Jandri sebagaimana yang menjadi dasar laporan debitor. Dokumen yang dibuat Jandri adalah suatu hal yang memang wajib dilakukan oleh seorang kurator ketika menjalankan tanggung jawabnya, terlebih lagi pembuatan dokumen tersebut telah sesuai dengan prosedur hukum kepailitan dan ditandatangani oleh hakim pengawas. Terkait dengan perselihan tagihan kreditur, James mengatakan upaya hukum yang paling pantas dilakukan adalah melakukan renvoi ke Majelis Hakim. Sebab, perselisihan ini masuk kategori perdata, bukan pidana.
“Ini kan lucu jika mempidanakan kurator karena laporan tersebut. Kan ada renvoi. Nggak etis jika menggunakan tangan-tangan polisi untuk maksud tertentu,” lanjutnya.
James juga mengingatkan agar polisi tidak dengan mudahnya menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk menangkap dan menahan seseorang. Penyidik harus memiliki alasan yang cukup untuk menahan seseorang sebagaimana diatur dalam hukum acara, seperti menghilangkan barang bukti dan melarikan diri.
“Jangan dengan mudahnya menahan seseorang,” tandasnya.
Sekretaris Jenderal AKPI, Imran Nating menambahkan upaya penangkapan polisi terhadap seorang kurator memang mengancam profesi kurator. Menurut Imran, banyak polisi yang belum mengetahui standar kerja sebuah profesi kurator. Para penyidik hanya mengetahui secara umum.
“Apesnya kalau mereka (penyidik, red) hanya membacanya dari kacamata KUHP saja,” tutur Imran ketika dihubungi hukumonline, Minggu (6/4).
Untuk itu, Imran meminta agar para penyidik mau memanggil ahli dari organisasi profesi terlebih dahulu ketika membuat Berita Acara Penyidikan terhadap kurator tersebut. Tujuannya adalah agar penyidik memiliki pemahaman yang utuh dalam melakukan pemeriksaan. Sebab, orang yang mengetahui banyak tentang suatu profesi adalah pelaku dari profesi itu sendiri. Melengkapi keterangan, polisi dapat memanggil ahli akademisi demi mendapatkan teori yang lengkap tentang kepailitan.
“Jangan main asal tangkap karena kurator bukan teroris,” pungkasnya.