|
Penari Adat Soka Roja Lewoloba |
Persoalan identitas menjadi ambigu ketika terdapat dua nama dipakai untuk menyebut identitas sesuatu/seseorang. Nama itu mungkin lazim didengar karena pertimbangan "kebiasaan" dan "kenyamanan", misalnya "Saya biasa/nyaman memanggilnya Dom, padahal nama orang itu Domi." Ketika "Dom" menjadi lebih populer ketimbang "Domi", maka akan muncul sebuah anggapan bahwa yang benar adalah Dom, bukan Domi. Ilustrasi singkat ini sedikit banyak menggambarkan krisis identitas yang dialami masyarakat Lewoloba atas dominasi kata Oka yang telah populer penggunaannya di tengah kalangan masyarakat Kota Larantuka. Sialnya, orang Lewoloba pun terkondisi untuk memperkenalkan dirinya sebagai Orang Oka, dan bukan Orang Lewoloba.
Hegemoni nama Oka di satu sisi, dan diskriminasi nama Lewoloba di sisi lain, kian memprihatinkan. Sejumlah tempat publik lebih memilih nama lain ketimbang Lewoloba. Sebut saja, SMP Negeri 02 "Larantuka", SMK Lamaholot Mandiri "Larantuka", Puskesmas "Oka", Pasar "Oka", semuanya berada di Desa Lewoloba tetapi tidak diberi label Lewoloba. Lantas, apa istimewanya nama Lewoloba ketimbang nama-nama lain itu?
Lewoloba adalah nama identitas yang kaya akan muatan sosial budaya. Nama Lewoloba diambil dari nama kata bahasa Lamaholot, yaitu Lewo (Kampung), dan Loba (Sirih Pinang). Penamaan Lewoloba bermula dari pendirian Kampung Lewoloba setelah berpindah dari tempat yang bernama Suban Tupi Wato, di kaki Gunung Ile Mandiri. Ketika dibuat acara adat pendirian Lewo, banyak orang menjadi mabuk setelah makan Loba. Dengan demikian, nama Lewo itu menjadi Lewoloba. "Opah" atau istilah khas Lewoloba adalah "Loba Lama Dike, Tanah Weki Lama Doro". Orang Lewoloba adalah keturunan langsung dari Putera sulung Lia Nurat (penghuni awal Ile Mandiri), bernama Belawa Burak. Belawa Burak beristerikan Nini Daja. Belawa Burak sendiri meninggal dunia di Waiburak, Adonara, dalam sebuah pertempuran antara Paji dan Demon. Ketika itu, Belawa Burak meninggalkan isterinya dalam keadaan hamil tua.
Setelah sekian lama mendiami kampung Lewoloba, orang Lewoloba berpindah ke lokasi barunya di sekitar Teluk Oka setelah sebagian besar wilayah kampung Lewoloba luluh lantak akibat Banjir Besar pada Tahun 1979. Sebagian wilayah ini adalah bekas kebun orang Lewoloba. Menurut penuturan tetua Lewoloba, tanah pesisir pantai Oka semulanya adalah milik Suku Fernandez Aikoli. Tetapi oleh karena ada anak sukunya yang menikahi gadis Lewoloba dari Suku Hurint Amaweruin, maka kekuasaan atas tanah di pesisir pantai dilepas sebagai ganti atas mas kawin yang mahal.
Sebenarnya, sebelum banjir 1979, telah terdapat sekitar 10 kepala keluarga yang mendiami lokasi Desa Lewoloba sekarang, yang ketika itu dinamakan sebagai "Pemukiman". Mereka menjadi korban terparah banjir 1979.
Setelah banjir, sebagian orang Lewoloba berpindah ke pemukiman baru yang bernama Bokang (sekarang bernama Desa Bokang Wolomatan). Tetua Lewoloba membuat "Kepasa" (cara penentuan lokasi secara tradisional), dan menetapkan lokasi Desa Lewoloba yang sekarang sebagai lokasi tempat tinggal barunya. Secara definitif, lokasi baru ini ditempati pada tahun 1982. Ketika itu, sejumlah tetua Lewoloba, antara lain Bapak Dominikus Duran Kelen dan Bapak Homo Doren mempertahankan penggunaan nama Lewoloba di lokasi baru, dan memilih untuk bertahan di pemukiman Lewoloba ketimbang harus dipindahkan ke pemukiman Bokang.
Nama Oka memang sudah lama digunakan. Tetapi nama itu tidak lebih dari nama sebuah teluk yang tidak merepresentasikan identitas sebuah budaya. Sebagian besar wilayah Oka saat ini adalah wilayah Desa Lewoloba. Sebagian kecil di sebelah Timur adalah wilayah Desa Lamawalang, dan sebagian kecil di sebelah Barat adalah wilayah Desa Wailolong. Sebutan Orang Oka kerapkali digunakan oleh masyarakat Lewoloba yang berdiam di pesisir Pantai Teluk Oka. Tetapi itu hanya dipergunakan dalam ruang lingkup Lewoloba saja, karena ketika berhubungan ke luar desa, identitas Lewoloba dipergunakan.
Entah mengapa, nama Oka menjadi sangat populer di kalangan orang yang tinggal di Kota Larantuka. Padahal nama Oka semata-mata hanya nama sebuah teluk. Orang yang tinggal di lokasi ini adalah orang Lewoloba. Sungguh tak mengenakkan bagi orang Lewoloba jika disebut sebagai orang Oka, karena mereduksi kekayaan sosio kultural Lewoloba ke dalam nama sebuah teluk. Hal inilah yang mendorong penulis untuk memperbanyak entry "Lewoloba" di internet.