Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas perubahan
Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Revisi aturan hukum ini
diperkirakan selesai pertengahan 2014.
“Revisi ini penting karena KUHP sudah berusia lebih dari 50
tahun sedangkan KUHAP sejak 1981 belum direvisi,” kata Wakil Ketua Komisi III
DPR, Tjatur Sapto Edy, di Jakarta hari ini.
Tjatur mengatakan, DPR telah meminta masukan dari kalangan
akademisi, yakni dari Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret,
Universitas Soedirman, Universitas Brawijaya, dan Universitas Airlangga, untuk
revisi KUHAP. Sedangkan masukan untuk KUHP datang dari luar Pulau Jawa.
Tjatur mengatakan, banyak pasal-pasal dalam kedua aturan
hukum itu yang berasal dari zaman Belanda sehingga tidak sesuai dengan norma
Hukum Indonesia. Selain itu, “Kita akan menjadikan Pancasila sebagai dasar dari
segala sumber hukum, dan ketatanegaraan di Indonesia”, katanya.
Selain rancangan hukum pidana dan hukum acara pidana itu akan
memasukan seluruh hukum pidana, yang tersebar di berbaga perundang-undangan. Oleh
sebab itu, rancangan itu memuat soal tindak pidana pencucian uang, terorisme,
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, lingkungan hidup, perlindungan benda
cagar budaya, hak asasi manusia, kesehatan, dan sebagainya.
Akan tetapi, rancangan perubahan itu telah memasukan isu-isu
kontroversial. Di antaranya adalah soal pidana untuk santet dan kumpul kebo. Salah
seorang yang memprotes adalah sosiolog dari Universitas Indonesia, Thamrin
Tamangola. Menurutnya, urusan kumpul kebo sebaiknya diserahkan pada masyarakat
lokal.
“Karena masing-masing masyarakat lokal pengaturannya sangat
beragam, kata Thamrin. Dalam kacamata sosiologi, menurut dia, ide perkawinan
muncul dari kalangan kelas menengah. Adapun kelas bawah sibuk dengan himpitan
ekonomi yang bisa melakukan apa saja.
“Kalau kumpul kebo, biasanya dari kelas atas dan kelas bawah.
Kelas atas karena kelebihan ekonominya, kelas bawah karena himpitan kemiskinan.
Makanya jika ada kawin massal banyak sekali yang ikut. Karena mereka sebetulnya
mau tetapi tidak mampu,” ungkap Thamrin.
Tetapi sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Musni Umar, tak setuju. Dia mengatakan bawah soal kumpul kebo itu
harus diatur supaya seks bebas tidak merajalela. “Supaya tidak merusak generasi
sekarang dan yang akan datang,” katanya.
Sedangkan soal santet, dinilai akan menimbulkan kegoncangan
sosial. Anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan bila delik
santet dianggap sebagai delik materil, maka amat sulit pembuktiannya.
“Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib
atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan apakah benar akibat
perbuatan orang itu, atau santetnya, ilmu gaibnya, ilmu hitamnya, menyebabkan
korban meninggal atau luka-luka?” kata Didi.
Di sisi lain, bila pasal santet dikategorikan sebagai delik
formal, maka tak perlu akibat dari perbuatan orang tersebut. Juga tak perlu
dibuktikan apakah benar orang itu menyantet. “Ini pun akan menimbulkan masalah,
bahkan tak mustahil kegoncangan sosial,” katanya. “Sebab, seseorang bisa saja
dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet, atau tuduhan sebagai dukun
santet.
Delik Santet
- Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
-
Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Delik Kumpul Kebo
Pasal 485: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri
di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun atau
pidana paling banyak 30 juta. Hukuman ini bersifat alternatif yaitu hakim dapat
memilih apakah dipidana atau didenda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar