Kamis, 21 Maret 2013

Jerat untuk pelaku santet dan kumpul kebo

Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas perubahan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Revisi aturan hukum ini diperkirakan selesai pertengahan 2014.

“Revisi ini penting karena KUHP sudah berusia lebih dari 50 tahun sedangkan KUHAP sejak 1981 belum direvisi,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edy, di Jakarta hari ini.

Tjatur mengatakan, DPR telah meminta masukan dari kalangan akademisi, yakni dari Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Universitas Soedirman, Universitas Brawijaya, dan Universitas Airlangga, untuk revisi KUHAP. Sedangkan masukan untuk KUHP datang dari luar Pulau Jawa.

Tjatur mengatakan, banyak pasal-pasal dalam kedua aturan hukum itu yang berasal dari zaman Belanda sehingga tidak sesuai dengan norma Hukum Indonesia. Selain itu, “Kita akan menjadikan Pancasila sebagai dasar dari segala sumber hukum, dan ketatanegaraan di Indonesia”, katanya.

Selain rancangan hukum pidana dan hukum acara pidana itu akan memasukan seluruh hukum pidana, yang tersebar di berbaga perundang-undangan. Oleh sebab itu, rancangan itu memuat soal tindak pidana pencucian uang, terorisme, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, lingkungan hidup, perlindungan benda cagar budaya, hak asasi manusia, kesehatan, dan sebagainya.

Akan tetapi, rancangan perubahan itu telah memasukan isu-isu kontroversial. Di antaranya adalah soal pidana untuk santet dan kumpul kebo. Salah seorang yang memprotes adalah sosiolog dari Universitas Indonesia, Thamrin Tamangola. Menurutnya, urusan kumpul kebo sebaiknya diserahkan pada masyarakat lokal.

“Karena masing-masing masyarakat lokal pengaturannya sangat beragam, kata Thamrin. Dalam kacamata sosiologi, menurut dia, ide perkawinan muncul dari kalangan kelas menengah. Adapun kelas bawah sibuk dengan himpitan ekonomi yang bisa melakukan apa saja.

“Kalau kumpul kebo, biasanya dari kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas karena kelebihan ekonominya, kelas bawah karena himpitan kemiskinan. Makanya jika ada kawin massal banyak sekali yang ikut. Karena mereka sebetulnya mau tetapi tidak mampu,” ungkap Thamrin.
Tetapi sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Musni Umar, tak setuju. Dia mengatakan bawah soal kumpul kebo itu harus diatur supaya seks bebas tidak merajalela. “Supaya tidak merusak generasi sekarang dan yang akan datang,” katanya.

Sedangkan soal santet, dinilai akan menimbulkan kegoncangan sosial. Anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan bila delik santet dianggap sebagai delik materil, maka amat sulit pembuktiannya.
“Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan apakah benar akibat perbuatan orang itu, atau santetnya, ilmu gaibnya, ilmu hitamnya, menyebabkan korban meninggal atau luka-luka?” kata Didi.

Di sisi lain, bila pasal santet dikategorikan sebagai delik formal, maka tak perlu akibat dari perbuatan orang tersebut. Juga tak perlu dibuktikan apakah benar orang itu menyantet. “Ini pun akan menimbulkan masalah, bahkan tak mustahil kegoncangan sosial,” katanya. “Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet, atau tuduhan sebagai dukun santet.


Delik Santet
  1. Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
  2. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan  perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Delik Kumpul Kebo

Pasal 485: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak 30 juta. Hukuman ini bersifat alternatif yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar