JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana Romli
Atmasasmita menilai, permasalahan utama polemik "perebutan" kewenangan
penanganan perkara dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri
ada pada nota kesepahaman (MoU) antar tiga institusi penegak hukum.
"Masalahnya
justru MoU itu melemahkan Undang-Undang KPK (Nomor 30/2002 ),"
kata Romli seusai dimintai pandangan oleh Polri di Divisi Hukum di
Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (6/8/2012).
Selain Romli,
Polri juga meminta pandangan pakar hukum tata negara Yusril Izha
Mahendra. Hadir dalam pertemuan itu Kepala Bareskrim Polri Komisaris
Jenderal Sutarman dan dua pengacara tersangka Inspektur Jenderal Djoko
Susilo, yakni Hotma Sitompul dan Juniver Girsang.
Romli
menjelaskan, dalam MoU itu juga diatur mengenai supervisi antar penegak
hukum. Padahal, di dalam Pasal 6 b dan Pasal 8 ayat 1,2,3, dan 4 UU KPK
sudah diatur mengenai supervisi. Pasal 8 ayat 1 disebutkan "dalam
melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi
yang dalam melaksanakan pelayanan publik."
Ayat 2 dinyatakan,
"KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau
Kejaksaan." Adapun Ayat 3, "Kepolisian atau Kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan seluruh berkas perkara serta alat bukti dan dokumen lain
yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan KPK."
Menurut Romli, jika mengacu pasal
itu maka KPK seharusnya lebih berwenang dalam melakukan supervisi.
"Dengan MoU itu malah supervisinya hilang. Jadi selevel lah (dengan
Kepolisian dan Kejaksaan)," kata dia.
Selain itu, tambah Romli,
di MoU ada pengaturan pengendalian bersama dalam pemberantasan korupsi.
Hal itu tidak diatur dalam UU KPK. Masalah lain, lanjut dia, di MoU
diatur batas waktu penyerahan tersangka dan seluruh berkas perkara
paling lama 3 bulan. Adapun di UU KPK hanya 14 hari.
Permasalahan
saat ini, tambah Romli, bukan lebih tinggi mana kedudukannya antara MoU
dengan UU KPK. Permasalahannya, MoU itu ditandatangani oleh Ketua KPK
Abraham Samad. MoU juga ditandatangani oleh Kepala Polri Jenderal (Pol)
Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief.
Dengan demikian, kata dia, KPK tidak bisa mengabaikan MoU. Pertaruhannya adalah integritas pimpinan KPK. "KPK kan lembaga superbody.
Pimpinan harus berintegritas, akuntabilitas. Kalau dia bilang MoU
enggak berlaku buat saya, integritas dia dimana? Kalau dicabut MoU itu,
loh dia waktu tandatangan baca apa enggak? Ini persoalan serius. Makanya
siapa yang nyusun MoU itu kok jadi begini," ucap Romli.
Jika
melihat dari sisi hukum, lanjut dia, MoU itu sama dengan perjanjian.
"Perjanjian itu sama mengikatnya seperti Undang-Undang. Kalau seseorang
tidak melaksanakan suatu perjanjian salah satu di pasal itu, berarti dia
wanprestasti melanggar UU. Jadi solusinya duduk bersama lagi membahas
kembali MoU yang diselaraskan dengan UU KPK," pungkas Romli.
Editor :
Heru Margianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar