Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X
menyoroti kelemahan pendidikan kader sebagai penyebab sulitnya
orang-orang Katolik saat ini yang tampil sebagai tokoh-tokoh nasional
dibanding dengan pada masa-masa awal kemerdekaan.
“Bahkan, nyaris tidak ada aktivitas orang muda Katolik yang
mengarahkan mereka pada peran dan tanggung jawab dalam politik. Hal ini
berbeda dengan pada masa-masa awal kemerdekaan, dimana kala itu, banyak
sekali tokoh-tokoh Katolik yang mengambil peran sentral,” katanya saat
memberi keynote speech dalam acara Dies Natalis ke-67 Pemuda Katolik di
Kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Minggu, (16/12).
Menurut Sultan, saat ini tidak ada pendidikan yang mumpuni bagi
kader-kade Katolik sehingga tidak muncul tokoh seperti IJ Kasimo, tokoh
politik pejuang kemerdekaan yang dianugerahi gelar pahlawan tahun ini
dan Mgr Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama yang turut berperan
mengusir penjajah Belanda dan terkenal dengan semboyannya, ‘menjadi 100%
Katolik, 100% Indonesia’ serta sejumlah tokoh lain selama era
pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
“Jika dahulu ada Kasimo, Soegijapranata dan kawan-kawan, maka kini,
bangsa ini merindukan munculnya tokoh-tokoh Katolik di tingkat nasional
yang sekaliber mereka”, kata Sultan.
Ia menambahkan, pernyataan bahwa ‘generasi muda adalah masa depan, harapan dan tulang punggung Gereja’ hanya sebatas wacana.
“Belum banyak tindakan konkret oleh orang muda dan usaha dari orang
muda Katolik sendiri untuk berbuat sesuatu yang didukung oleh para tokoh
senior politisi Katolik dan Gereja”.
Ia menjelaskan, sebuah keniscayaan bila Gereja Katolik mampu mencetak
pemimpin-pemimpin yang bekerja karena menjadi panggilan hatinya,
menjadi pemimpin yang tegas, tidak otoriter, mampu menjamin terbangunnya
iklim demokrasi yang kuat dan merawat keberagaman yang menjadi ciri
Indonesia.
Ketua Umum Pemuda Katolik Agustinus Tamo Mbapa, mengakui memang pendidikan kader-kader Katolik masih belum ditata dengan baik.
“Selain itu, ada semacam keterputusan atau tidak ada regenerasi pendidikan kader dari generasi tua ke generasi muda”, ungkapnya.
Mbapo juga melihat peran Gereja yang cukup intens pada zaman dahulu dalam mendampingi kader-kader Katolik.
“Orang-orang muda Katolik betul-betul diperhatikan oleh Gereja, berbeda dengan situasi beberapa tahun terakhir”.
Namun, ia menjelaskan, saat ini Pemuda Katolik sedang terus
memperluas jaringan kerja sama dengan pihak hirarki Gereja dan juga
dengan lembaga-lembaga lain.
Sementara itu, Ketua Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligerja
Indonesia (KWI), Mgr Yustinus Harjosusanto MSF mengatakan, saat ini
Gereja memang tidak memiliki lembaga khusus untuk mendidik kader-kader
Katolik, tetapi menyerahkan hal itu pada organisasi-organisasi dan
partai politik.
“Meski demikian, tentu saja Gereja tetap memperhatikan umatnya yang
menjadi politikus”, katanya kepada ucanews.com ketika ditemui di
sela-sela acara.
Uskup Tanjung Selor ini mengakui memang banyak orang Katolik yang
menjadi politikus, namun hanya sedikit yang menjiwai semangat
kekatolikan.
“Semangat kekatolikan itu kan mengedapankan nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kejujuran dan juga keberpihakan pada orang-orang kecil. Namun,
sekarang hal itu belum menjadi spirit dari orang-orang Katolik yang
menjadi politikus”, tegasnya.
Ia menjelaskan, selama ini Komisi Kerawam memang berupaya
memfasilitasi pertemuan politisi-politisi Katolik, yang biasa diadakan
setiap bulan untuk meningatkan mereka akan jati diri sebagai orang
Katolik.
“Kalau orang-orang Katolik hasil didikan organisasi dan yang menyebar
di partai-partai politik menghayati nilai-nilai kekatolikan dalam
menjalankan profesi mereka, maka tentu gelar sebagai tokoh nasional akan
datang dengan sendirinya. Hanya saja, ini masih menjadi persoalan
Gereja saat ini, yang mesti disikapi secara serius”, tegasnya.
Ryan Dagur, Yogyakarta