Walaupun dihujani protes keras, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap
menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience
Foundation di New York, Amerika Serikat, 30 Mei lalu. Banyak pihak
menyebutkan, Presiden tidak pantas menerima penghargaan itu karena
Indonesia masih bermasalah dalam kerukunan beragama.
Namun,
Presiden punya jawaban. ”Meskipun masih ada masalah dalam negeri kita,
masih ada kejadian yang belum mencerminkan kerukunan hidup antarumat
beragama, itu saya akui. Oleh karena itu, mudah-mudahan bagi saya
sendiri, bagi bangsa Indonesia, hal baik yang dilihat dunia itu kita
terima kalau itu diakui. Justru kita harus berbuat lebih keras, lebih
serius, dan efektif lagi untuk perbaiki lagi.”
Pernyataan
Presiden itu tentu masuk akal, tetapi pihak-pihak yang berseberangan
juga tak kalah rasionalnya. Pada masa transisi politik, konflik sosial
begitu gampangnya memicu kekerasan kolektif. Ketika sistem politik
otoriter-sentralistik bermetamorfosis ke sistem
demokratis-desentralistik, sistem ekonomi kapitalisme pertemanan ke
sistem ekonomi pasar, dan sistem sosial yang makin terpolarisasi,
letupan konflik menjadi lorong kelam Indonesia.
Di panggung
politik, rakyat sangat menentukan, seperti dalam pemilu atau pilkada.
Namun, kemajuan penting dalam berdemokrasi itu justru dibebani ekses
negatif, yaitu maraknya konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat,
kekerasan dalam pilkada sejak 2005 menewaskan sedikitnya 59 orang dan
melukai 230 orang. Ada 279 rumah, 30 kantor pemerintah daerah, 11 kantor
partai politik, 10 kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan
berbagai jenis bangunan lain dirusak atau dibakar massa.
Sampai
hari ini konflik di Papua masih mengalami eskalasi yang naik-turun.
Namun, konflik sosial yang paling parah adalah konflik yang terjerumus
ke dalam konflik berlatar agama atau etnik. Pengalaman paling mengerikan
adalah konflik di Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan konflik
etnik di sejumlah daerah di Kalimantan. Bahkan, di Poso, hingga kini
kekerasan masih menjadi momok yang memicu instabilitas keamanan.
Konflik
menjadi ironi dalam masyarakat yang heterogen, baik antaragama seperti
dalam kasus jemaat GKI Yasmin di Bogor, maupun intra-agama seperti kasus
jemaah Ahmadiyah dan penganut Syiah. Kasus-kasus tersebut belum
terselesaikan, bahkan dampaknya bukan saja traumatik secara psikologis,
tetapi juga secara sosial mereka terusir dari kampung halaman.
Setahun
ini, sebagaimana juga selama 15 tahun pascareformasi, kita menjumpai
bangsa ini penuh amarah. Kebencian dan ketidaksukaan terhadap kelompok
tertentu, serta reaksi keras terhadap berbagai perbedaan seakan mengalir
dalam aliran darah di tubuh kita. Hanya gara-gara persoalan sepele,
kemarahan bisa menjadi kekerasan masif yang destruktif. Bahkan, seorang
Komaruddin Hidayat—yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta—pun ragu bahwa kita bangsa penuh sopan-santun.
Kekerasan
seolah-olah menjadi saluran tunggal untuk penyelesaian suatu masalah.
Dan, sentimen primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA), begitu cepatnya tersulut.
Memang, SARA menjadi sumber
pemicu konflik yang paling ”anggun”. Penggunaan simbol-simbol agama
merupakan konflik yang dampaknya paling rawan, masif, dan destruktif.
Sebab, agama memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan
pemeluknya, baik secara personal maupun sosial. Tidak mengherankan,
dalam konflik agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya adalah
tujuan mulia.
Meskipun demikian, konflik berlatar agama
sesungguhnya tidak melulu atas dasar agama atau motif sakral, tetapi
berkelindan atau justru malah diinisiasi oleh motif-motif sekuler,
terutama motif politik atau perebutan kekuasaan (power) ataupun motif
ekonomi atau sumber daya alam (resources). Namun, agama sering kali
menjadi instrumen pembenaran dalam membingkai konflik. Dalam pandangan
Peter L Berger, agama merupakan salah satu alat legitimasi yang paling
efektif.
Kaitan agama dan politik, menurut Haryatmoko (2010),
menyentuh tiga mekanisme pokok, yaitu fungsi ideologis, faktor
identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Sebagai fungsi
ideologis, agama menjadi perekat masyarakat karena memberikan kerangka
penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sebagai fungsi
identitas, agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan kelompok sosial
tertentu yang dapat memberikan stabilitas sosial, status, pandangan
hidup, cara berpikir, dan etos. Sebagai fungsi legitimasi etis hubungan
sosial, agama menjadi pendukung suatu tatanan sosial, yang bisa
memunculkan fanatisme agama.
Tak mengherankan dalam ruang besar
republik ini, kemarahan begitu terlihat jelas. Watak kekerasan menjadi
kultur negatif bangsa ini. Intoleransi terlalu sering terdengar di
telinga. Kekerasan punya banyak dimensi, antara lain pembuktian jati
diri, loyalitas, kebanggaan, ekspresi kelas sosial, dan lain-lain.
Ketika kekerasan telah terinstitusionalisasi, kekerasan menjadi bagian
dari sistem.
Konflik yang tak teratasi, politik yang selalu
gaduh, dan hukum yang tebang pilih, menggambarkan situasi anomi,
sebagaimana dilukiskan Emile Durkheim. Situasi tanpa keteraturan,
kegamangan, instabilitas itu seolah-olah berbanding terbalik dengan
kondisi ”normal” Orde Baru. Tak mengherankan, banyak yang mencibir bahwa
lebih enak pada zaman Soeharto, yang dinilai stabil. Namun, sebetulnya
bukanlah kerinduan pada cara-cara Soeharto, tetapi lebih karena kita
merasa kecewa dan lelah dengan situasi saat ini.
Maka,
penghargaan bergengsi yang diterima Presiden SBY itu seharusnya bisa
benar-benar dijadikan modal untuk bekerja lebih keras lagi, agar
terbangun kembali relasi sosial yang melahirkan harmoni, sekaligus
membenamkan amarah bangsa ini. Kita butuh pemimpin di barisan terdepan
agar bisa melewati lorong gelap ini.
Editor : Caroline Damanik